Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalimantan Barat menggelar Diskusi Internalisasi Permasalahan Hukum di Ruang Rapat Edward Omar Sharif Hiariej. Kegiatan ini menghadirkan penyuluh hukum, ASN Divisi Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum (P3H), mahasiswa magang dari berbagai perguruan tinggi, serta narasumber akademisi dari Universitas Panca Bhakti Pontianak./ANT.SUARASANGGAU/SK
Kepala Divisi Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum, Zuliansyah, menjelaskan bahwa pemetaan persoalan hukum merupakan fondasi penting dalam menciptakan sistem hukum yang responsif dan berkeadilan.
“Kegiatan ini menghadirkan para penyuluh hukum dan akademisi untuk bersama-sama mengidentifikasi persoalan hukum yang terjadi di masyarakat. Hasil pemetaan nantinya akan kami sampaikan kepada publik agar masyarakat memahami dinamika hukum yang terjadi,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa permasalahan hukum tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana, tetapi juga mencakup evaluasi terhadap disharmonisasi regulasi yang masih ditemukan di sejumlah daerah.
“Permasalahan hukum tidak hanya soal perkara pidana. Disharmonisasi regulasi juga perlu dievaluasi bersama. Ini sangat penting dalam membantu menyusun rekomendasi kebijakan yang tepat sasaran,” tambahnya.
Dalam forum tersebut, akademisi UPB Pontianak, Yenny AS, memaparkan sejumlah data kriminalitas yang dihimpun dari kepolisian. Ia mengelompokkan data tersebut ke dalam kriminal umum, kriminal khusus, serta empat fokus utama yaitu politik, hukum, keamanan, dan pemerintahan.
Menurutnya, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) serta aktivitas pertambangan ilegal masih menjadi dua persoalan hukum paling menonjol di Kalimantan Barat.
“Beberapa kasus dengan angka tinggi antara lain pencurian dengan 1.632 laporan dan 1.299 penyelesaian, penganiayaan dengan 333 laporan dan 234 penyelesaian, serta kasus ITE yang mencapai 87 laporan dengan 55 penyelesaian,” ujarnya.
Ia juga mencatat sejumlah kasus lain seperti pertambangan ilegal (90 laporan, 72 selesai), minyak dan gas (50 laporan, 41 selesai), perlindungan anak (77 laporan, 75 selesai), KDRT (128 laporan, 111 selesai), dan pencabulan (108 laporan, 97 selesai).
Yenny menilai tingginya angka kasus dipengaruhi oleh rendahnya literasi hukum masyarakat. Ia merekomendasikan pembentukan Pos Bantuan Hukum di tingkat desa atau kelurahan untuk memperluas akses masyarakat terhadap layanan bantuan hukum.
Diskusi berlangsung interaktif dengan beragam tanggapan dari penyuluh hukum, ASN hingga mahasiswa magang. Forum tersebut menjadi wadah sinkronisasi pemahaman serta merumuskan tindak lanjut pembinaan hukum di Kalimantan Barat.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Kalbar, Jonny Pesta Simamora, memberikan apresiasi atas terlaksananya kegiatan tersebut. Menurutnya, pemetaan masalah hukum merupakan fondasi dalam penyusunan kebijakan yang tepat dan efektif.
“Kegiatan seperti ini sangat penting karena kita tidak boleh bekerja hanya berdasarkan asumsi. Data permasalahan hukum harus dibaca dengan teliti agar kebijakan yang disusun benar-benar menyentuh akar persoalan,” ujarnya.
Jonny juga menegaskan bahwa banyak persoalan hukum muncul bukan semata karena niat jahat, tetapi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap aturan.
“Oleh karena itu, penyuluhan hukum harus bersifat edukatif dan dilakukan secara berkelanjutan. Kami juga akan terus memperkuat kolaborasi dengan akademisi, aparat penegak hukum, serta masyarakat,” tegasnya.
Ia menutup dengan memastikan komitmen Kanwil Kemenkumham Kalbar dalam memperkuat kepastian hukum di daerah.
“Semakin optimal pemetaan masalah hukum, semakin kuat pula fondasi kita untuk membangun Kalimantan Barat yang aman, tertib, dan berkeadilan,” katanya.[SK]