Dalam sesi kuliah dan perkongsian ilmiah itu, Prof. Ismail mengangkat tema menarik mengenai kearifan lokal masyarakat Sanggau dalam menjaga harmoni sosial, yang dikenal dengan istilah “Bahaum.”
Menurutnya, kearifan lokal merupakan identitas dan kepribadian masyarakat setempat yang diwariskan secara turun-temurun, bukan hanya menjadi ciri khas budaya, tetapi juga pedoman dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial dan keagamaan di tengah masyarakat.
“Masyarakat Ilir Kota Kecamatan Kapuas memiliki kearifan lokal yang sangat kuat dalam menjaga dan mengawal kerukunan antarkelompok masyarakat. Nilai ini menjadi karakter mereka dalam menangani perselisihan maupun potensi konflik,” ujar Prof. Ismail.
Istilah Bahaum, lanjutnya, berasal dari bahasa daerah yang berarti musyawarah, yakni kegiatan berkumpul bersama untuk membicarakan persoalan secara terbuka dan mencari keputusan secara mufakat. Meski sering digunakan dalam konteks adat istiadat, nilai Bahaum dapat diterapkan untuk berbagai masalah sosial yang memerlukan kebersamaan dalam penyelesaiannya.
“Dalam bahasa lain, bahaum juga dikenal dengan istilah mpekat, bentuk singkat dari kata mufakat. Prinsipnya adalah semua pihak harus didengar dan keputusan diambil bersama, bukan sepihak,” jelasnya.
Prof. Ismail menegaskan, penyelesaian masalah melalui bahaum merupakan kekuatan sosial masyarakat Ilir Kota, Kecamatan Kapuas, dan Kabupaten Sanggau secara umum. Dengan melibatkan para tokoh adat, agama, dan masyarakat, potensi konflik komunal dapat diselesaikan dengan damai tanpa kekerasan.
“Bahaum bukan sekadar tradisi, tetapi bentuk nyata budaya dialog dan partisipasi sosial yang memperkuat kohesi masyarakat. Nilai ini layak menjadi inspirasi bagi masyarakat lain dalam menjaga kerukunan dan persatuan,” pungkasnya.[SK]
